Aku mengenakan pakaian terbaikku yang sudah kusetrika sendiri dari tadi. Baguslah, pikirku. Hari ini hari minggu dan aku tak perlu mengambil cuti sehari untuk bisa merayakan hari ini bersamanya.
"Ya, halo?" Aku menjawab telepon genggam yang
nyaris kutinggalkan semenit di atas tempat tidurku. Duh, tunggu pulang saja
kubereskan kemeja-kemeja yang berserakan di atas kasur ini.
"Ah iya, terima kasih pak. Iya, terima kasih
ahahahaha..." Ternyata yang barusan menelepon adalah ayahnya dari luar
kota. "Iya, gapapa kok pak. Hari ini saya mau rayain bareng dia. Gapapa ya pak?" Syukurlah si bapak tidak keberatan sebelum menutup panggilannya. Huff, lebih baik tidak membuang-buang waktu. Apalagi di luar
sudah hujan deras.
Kemeja cokelat gelap dengan jas dan dasi biru tua yang
disenanginya. Moga aja dia senang sama penampilan begini, apalagi waktu lulus
dari kampus dulu dia sempat ngomong gini, "Idih, keren banget hari ini.
Cie, yang baru diterima kerja~" Begitu mimikku tanpa sadar sambil terkekeh sendirian di kamar tidur yang agak berantakan itu.
"Nah lalu apa
lagi.."
Oh ya. Kopi yang kutinggalkan di heater waktu mandi sudah panas dan mati otomatis. Seenggaknya masih ada waktu untuk duduk sejenak sambil menikmati
secangkir robusta sebelum berangkat. Dan akhirnya jadi buru-buru keluar dari apartemen gara-gara
baru sadar udah ngopi nyaris setengah jam.
"Taksi!!"
Taksi terdekat berhenti, pintu terbuka, aku langsung
menyodorkan sebuah kartu dengan tulisan sambung yang dicatat dengan indah.
"Kesana dulu ya, pak. Saya ingin membeli bunga." Si supir hanya
tersenyum dan mengangguk sebelum kemudian memijak pelan pedal gas mobilnya.
Dan sampai juga di toko bunga itu. Wajah gadis muda itu
sedikit merona ketika ia sadar akan kedatanganku. Mungkin karena sudah tahu
bunga apa yang ingin kujemput.
"Sama seperti tahun lalu." Aku tersenyum, dan
samar-samar ekspresi wajahnya terlihat berubah menjadi sebuah tatapan yang
terasa jauh ketika tangannya menyerahkan buket bunga itu seperti biasa. Mungkin
dia mengerti, mungkin juga tidak.
"Lho, jangan kusam gitu dong mukanya.
Aku juga ulang tahun hari ini kan?" Baguslah, akhirnya gadis itu tersenyum
kembali. Dan kembali aku melambaikan tangan kepadanya sebelum masuk ke dalam
taksi itu.
"Benar ini tempatnya?" akhirnya supir itu angkat
bicara.
"Ah iya pak. Tidak salah lagi." Ujarku sambil
menyerahkan beberapa lembar uang ke tangannya dan keluar dari taksi itu sambil
menunjukkan jempolku.
Ah, tak apa-apa kalau baju jasku basah sedikit karena hujan.
Toh langit juga pelan-pelan berubah cerah. Aku pun melihat ke kanan dan ke kiri
sambil meneruskan langkahku di jalan bebatuan itu. Mungkin gara-gara hujan
juga, makanya ga banyak orang yang terlihat di sini.
Dan akhirnya kita pun bertemu.
Aku menyerahkan buket bunga mawar itu kepadanya dan kembali teringat. "Aduh! maaf kalau hari ini cincinnya ketinggalan di
apartemen!" Aku tertawa terbahak-bahak sambil menepuk dahiku berkali-kali.
Kalau saja aku sempat menyematkan cincin itu di jarimu,
mungkin kita sudah tinggal bersama. Tapi apa yang terlanjur sayangnya tak bisa
diubah kembali.
Pusara itu tak mungkin bisa menjawab. Tapi melihat nama yang
terukir di dalamnya sudah lebih dari cukup untuk mendamaikan jiwaku.
Bagaimana kabarmu di sana? Aku disini baik-baik saja.

baca lanjutan ceritanya disini
BalasHapus