Dialog seorang profesor dengan muridnya mengenai teodisi atau upaya untuk merekonsiliasi keberadaan Tuhan dengan kejahatan telah menyebar luas di dunia maya. Seorang murid dikisahkan berhasil membantah pernyataan professor yang digambarkan "sombong." Biasanya di akhir kata ditambahkan embel-embel " murid itu adalah Albert Einstein", yang jelas salah karena Einstein tidak percaya Tuhan personal, namun kepada Tuhannya Baruch Spinoza, yaitu keserasian hukum alam. Selain mencatut nama Einstein, dialog ini juga memiliki kesalahan logika yang fatal. Berikut adalah perbaikan untuk dialog tersebut yang diterjemahkan dari http://www.rationalresponders.com/debunking_an_urban_legend_evil_is_a_lack_of_something dengan sedikit adaptasi. Sementara itu, kalau mau lihat kisah aslinya yang ngawur bisa dilihat di http://novrya.blogspot.nl/2011/01/profesor-yang-tidak-punya-otak.html
***
Alkisah, seorang profesor filsafat menantang muridnya: "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.
Profesor
itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan
menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip
kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa
berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.
Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”
"Tentu saja," jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
"Tentu
saja," ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena
ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.
Si
murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut
hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu
-460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi
diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata
dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Sang professor pun menjawab dengan tegas: "Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?"
Si murid tampak bingung.
"Biar
saya ulangi secara singkat. "Panas" dan "dingin" adalah istilah
subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh "kualitas
sekunder". Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan
suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel
atomik. Istilah "dingin" dan "panas" merujuk kepada interaksi antara
sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di
lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu... istilah
"panas" dan "dingin" hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk
menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu."
"Maka argumen
Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa "dingin" itu tidak ada, atau
bahwa "dingin" ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah
menunjukkan bahwa "dingin" adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep
subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut "dingin" akan tetap ada.
Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu
fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut."
Murid: (agak shock) "Uh... oke... em, apakah gelap itu ada?”
Professor: "Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti."
Murid: "Jadi menurut professor kegelapan itu ada?"
Professor: "Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. "Kegelapan" adalah kualitas sekunder."
Murid:
"Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan
dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita
bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa
warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda
tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan
berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia
untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Professor:
“Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar
cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan
“terang” hanyalah penilaian subjektif kita... yang sekali lagi terkait
dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang
lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu
dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x”
sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”,
foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan
tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau
masih kurang jelas?”
Sang murid tampak tercengang. Sang
professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam
argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”
Sang
murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor
berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya
kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor
memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”
Professor
langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di
luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”,
maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika
Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk
menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda
bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak
terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe
dengan memangkas rambut.”
Murid tersebut tercengang, namun
tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat
menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan
magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar
memahami salah satunya..”
Professor: “Anda mengatakan
bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa
yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak
misteri dalam neurosains?”
Murid: “Begitulah.”
“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”
“Benar!”
Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatan false presumption.
Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya,
Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan
tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna
dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung
merupakan kesalahan kategoris.”
“Namun, masih ada
kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau
bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak
tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan
sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat
menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga
dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”
“Lebih
lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena
sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu
mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen
dari ketidaktahuan.”
“Dan juga, seperti yang dikatakan
oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains
sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell
sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi
elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang
membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa
menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun
dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan
kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah
keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi
gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa
hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu
menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung
meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya
materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang
mengisi gap pun terus menciut.”
“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”
Sang
murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em... kembali
ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang
berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa
kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian
bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”
Professor
pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas
sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan
“kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan
fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif
kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.
Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”
Si
professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan
jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu
saya ulangi lagi?”
Sang murid yang terus berusaha
menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah
ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan
adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan
itu ketiadaan kebaikan?”
Sang professor menanggapi, “Jadi,
jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya
ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu... dia tidak mati... cuma
ketiadaan hidup kan?”
Si murid berkata, “eh...”
“Sekarang
sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur
kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah
deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun
perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder
itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan
mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak
menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah
subjektifnya. Begitu lho.”
Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”
Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.

“Evolusi
itu bisa diamati karena hingga sekarang masih berlangsung. Misalnya,
pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod Kopiste di Kroasia
dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak banyak tumbuhan
sehingga memakan serangga, sementara di pulau Pod Mrcaru ada banyak
tumbuhan. Setelah ditinggal selama beberapa dekade, ketika ditemukan
kembali, kadal di pulau Pod Mrcaru mengalami proses evolusi. Kadal
tersebut mengembangkan caecal valve, yaitu organ yang penting untuk
mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang sebelumnya tidak ada. Atau, jika
Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di Amerika Serikat, Anda bisa
saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang sebelumnya tak bisa
mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi alam muncul e coli
yang bisa mengolah asam sitrat.”
"Lagipula, Anda lagi-lagi
terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan
logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena
Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi,
Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu
hanya terdiri dari pengamatan langsung.... “
Si murid
memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor?
Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya,
menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah
melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan
pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor
tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat
mempercayai pengajaran professor?”
Si professor tertawa
dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa
membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya.
Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains
itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada.
Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku
Anda hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak
membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah
buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi
kesalahan yang sama.”
- Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar