Lihatlah, aku mengajarkan Ubermensch kepadamu.
Ubermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Ubermensch menjadi makna dunia ini.
Oleh karena itu...
.
.
.
Aku sekarang narik Uber.
Sebelumnya gue mau kasih disclaimer, buat yang punya alergen Kierkegaard & Nietzsche ((kenal aja nggak)), mendingan ga usah baca postingan kali ini deh. karena gue mau bahas tentang beberapa (2 doang sih sebenernya) filsuf eksistensialisme. kenapa cuma 2? ya soalnya gue juga baru baca 2 tokoh itu aja, hehe.
eksistensialisme.
eksistensi.
 bagaimana manusia “meng-ada”, apa yang harus dilakukan, apa yang 
menjadi hambatan, apa yang menjadi pokok landasan untuk eksis, dan 
sebagainya. 
Yang pertama, Kierkegaard. Dia adalah 
stereotype filsuf. Mau tau kenapa?  Karena dia jadi filsuf karena 
penderitaan dan kesedihan yang dia alami dalam hidupnya. Bayangkan, dia 
kehilangan sodara-sodara kandungnya yang tadinya ada 7 bersaudara jadi 
cuman dia sama kakanya doang. plus ditambah sama kematian sang bunda 
yang menyebabkan si Kierkegaard jadi lose control of his own life.
Seperti
 orang-orang yang habis diputusin pasangannya. atau diputusin tali 
pusarnya. (perumpamaan doang) ya begitulah, sama aja sakitnya. intinya 
habis mengalami guncangan dalam kehidupannya, Kierkegaard juga nyari 
pelarian, cuma sayangnya, pelariannya adalah mabu-mabuan. Bahkan 
gara-gara hal ini, masyarakat Kopenhagen punya pepatah “jangan mau jadi 
seorang Soren”. (Soren adalah nama depan dari Kierkegaard.)
Momen
 paling mengharukan itu saat Kierkegaard nulis surat perpisahan buat 
Regina Olsen, perempuan paling dicintainya, tapi gak sanggup dia nikahi 
karena? maharnya kurang? bukan. sebenarnya karena gak mau si Regina jadi
 menderita kaya dia. (see? friendzoned sudah ada sedjak tempoe doeloe). 
“Above all forget him who write this ; forgive a man who, though he may be capable of something, is not capable of making a girl happy”
Kierkegaard sendiri akhirnya menjadi filsuf religius sejak kematian sosok yang dikaguminya, Paul Moller. Kierkegaard yang jadi amat religius itu pun menulis: 
“God is the only who does not grow tired of listening to men”
Bener banget kan?
Lanjut ke Nietzsche. Kalau ini sih kebalikannya Kierkegaard, gue rasa sih dianggep filsuf gara-gara penyakit
 megalomanianya & paranoia yang akut. Bayangin, dia sempet dirawat 
di RSJ gitu, cuma ibunya gak tega makanya dibawa pulang lagi deh si Om 
Nietzsche ini.
Nietzsche ini terkenal sama Dendang Zarathustra-nya yang fenomenal itu.
Intinya, si Nietzsche ini adalah sosok yang terang-terangan memproklamirkan dirinya sebagai sosok yang gak percaya sama Tuhan. 
“Could it be possible? The old saint in the forest has not yet heard anything of this, that God is dead!”
Udah
 gitu, si Nietzsche ini juga bilang kalo landasan untuk menjadi 
ubermensch alias manusia unggul adalah kecerdasan, kekuatan dan 
kebanggaan. Herren-moral inilah yang bakal menjadi landasan si Adolf 
Hitler dengan Nazi-nya untuk menjadi diktator di Jerman.
“What is good?you ask. To be brave is good”
Nietzsche sangat mendorong manusia untuk berani dan keluar dari ketakutan-ketakutan yang selama ini mengungkungnya. Gue sih nangkepnya, mungkin latar belakang gereja di Eropa saat itu yang 
dikit-dikit ngelarang yang secara gak langsung mematikan kreativitas 
orang-orang lah yang bikin si Nietzsche ini jadi berfilsafat kaya gitu.
“I sat there waiting – waiting for nothing
Enjoying, beyond good and evil, now
The light, now the shade; there was only
The day, the lake, the noon time without end
Then, my friend, suddenly one became two,
And Zarathustra passed by me…”


Tidak ada komentar:
Posting Komentar