Sejak kecil, kita diajarkan untuk punya cita-cita. Pertanyaan yang biasa muncul dari kerabat maupun dari tetangga yg sok akrab adalah, “Kamu mau jadi apa, kalau sudah besar?”
Anak muda jaman sekarang kalo ditanya cita-cita / pencapaian terbesarnya, mungkin ada yg jawabnya "ingin menjadi menjadi viral". (apasih). ada juga yang jawabnya "ingin menjadi youtubers" , "ingin menjadi selebgram" , atau sekedar "ingin menjadi netizen budiman" . (apasih). atau ada lagi nih yang lebih aneh, "menjadi pembuat meme". bayangkan orang tua lo capek-capek buat anak, pas gede anaknya jadi pembuat meme. (apasih)
Beda kalo dgn anak jaman dulu, Ada nih yg kalo ditanya cita-cita jawaban pamungkasnya ya kalau gak mau jadi dokter, jadi pilot, polisi, tentara, atau gak jadi bintang di hati kamu. (nggak kok, yg terakhir cuma becanda.) sekarang serius deh.
Biasanya, kita dulu asal menjawab aja. Namun, ketika usia semakin dewasa, pertanyaan yang sama terus menggantung, “Kamu mau jadi apa?” Jika tidak bisa memberikan jawaban pasti, maka kita lalu merasa bersalah. Namun, kita tidak pernah diajarkan, bahwa penghalang terbesar dari segala mimpi kita di dalam hidup justru adalah diri kita sendiri, tepatnya adalah konsep kita tentang hidup kita. Karena hidup dengan ketegangan dan ambisi yang berapi-api, kita tidak mempunyai energi dan fokus yang dibutuhkan, guna mencapai keinginan tersebut. Akhirnya, kita pun memboikot diri kita sendiri, dan keinginan kita tidak akan pernah tercapai. Bisa dikatakan dengan lugas, bahwa musuh kita di dalam hidup adalah “konsep” kita tentang hidup itu sendiri, termasuk soal kebahagiaan, tujuan hidup, cinta dan sebagainya. Mengapa konsep menjadi halangan? Bukankah kita diajarkan untuk berpikir konseptual? Bukankah berpikir konseptual juga merupakan tanda dari kecerdasan?
Semua orang ingin hidup bahagia. Namun, hampir semua orang terjebak pada konsep tentang kebahagiaan, bahwa hidup yang bahagia itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ada di kepalanya, yakni konsep kebahagiaan. Ia pun berusaha mewujudkan semua syarat-syarat itu dengan segala daya usaha. Ironisnya, ia tidak akan pernah bahagia, karena ia terjebak pada konsep tentang kebahagiaan. Kebahagiaan yang sejati bisa dicapai, jika kita melepas semua konsep kita tentang kebahagiaan. Ia bisa terjadi secara alamiah, ketika kita melepas semua pandangan kita tentang arti dari kebahagiaan. Kebahagiaan sebagai keadaan alamiah manusia memberikan ketenangan batin, apapun yang terjadi di sekitar kita. Bisa dibilang, ia adalah kebahagiaan tanpa “kebahagiaan”.
Hal yang sama berlaku untuk cinta. Semua orang mencari cinta. Coba dengarkan lagu-lagu di radio dan lihat film-film di TV maupun bioskop. Semua bercerita tentang cinta. Namun, kenyataannya, banyak orang tidak mendapatkan cinta dalam hidupnya. Mengapa? Nasib. (nggak kok, yg terakhir cuma becanda.) sekarang serius deh.
Cinta yang sejati ada di depan mata kita. Fakta bahwa kita masih hidup, relatif sehat dan ada udara serta sinar matahari yang mengisi hidup kita adalah tanda cinta yang alamiah. Namun, kita buta dengan semua itu, karena kita terjebak pada konsep kita tentang cinta. Kita memaksa dan memacu diri untuk menjadikan konsep itu jadi kenyataan. Sebuah upaya sia-sia yang menghabiskan energi dan tak akan bisa mencapai tujuannya, yakni kebahagiaan. Pencarian kebahagiaan dan cinta dalam hidup biasanya tidak bisa dilepaskan dari pencarian akan Tuhan. Namun, sama dengan kebahagiaan dan cinta, kita tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena kita terjebak pada konsep Tuhan yang kita terima dari luar, dan kemudian kita yakini secara buta. Tuhan bukanlah konsep. Ia tidak bisa dicapai dengan sekedar membaca konsep dari buku-buku. Justru, musuh utama dari orang-orang yang mencari Tuhan adalah konsep Tuhan itu sendiri.
Kita harus lepas dari tirani konsep. Kita harus belajar untuk “tidak melakukan apa-apa”. Hanya dengan begitu, kita bisa menjadi manusia alamiah, yakni manusia apa adanya. Ia tidak dibebani oleh ambisi menguasai dunia, menjadi sukses, menguasai orang lain, atau beragam ambisi lainnya. Ia hanya hidup dalam segala kepenuhannya, tanpa konsep, tanpa pikiran. Toh, sejatinya hidup ini hanya sebentar, penuh dengan ironi. Jadi, berhentilah berpikir soal hidup, dan mulailah hidup.
"pan, bangun pan. ngigo ya lo?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar